Praktisi Sebut 3 Syarat Kondisi Genting Dikeluarkannya Perppu KPK

- Rabu, 9 Oktober 2019 | 11:54 WIB
photo/ANTARA/Riza Harahap
photo/ANTARA/Riza Harahap

Praktisi hukum senior, Petrus Selestinus menyebutkan ada tiga syarat kondisi genting yang memaksa Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) menurut putusan Mahkamah Konstitusi pada 2009.

Pertama, adanya keadaan berupa kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara berdasarkan Undang-Undang (UU). Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau UU yang ada tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama.

"Sementara itu, keadaan mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan," kata Petrus Selestinus dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (8/10).

-
photo/ANTARA/Riza Harahap

Dia menjelaskan, posisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri tidak berada dalam tiga situasi tersebut. Terutama, upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhenti dengan adanya UU KPK dan tidak terjadi kekosongan hukum, sehingga tidak ada urgensi mengeluarkan Perppu.

Menurutnya, negara tetap menjalankan kewajibannya untuk memberantas korupsi dengan tiga instrumen penegak hukum yaitu KPK, Polri dan Kejaksaan.

"Masalahnya adalah sekarang kita harus memilih pimpinan KPK yang memiliki karakter kepemimpinan yang kuat agar tidak mudah diintervensi dan tidak mudah dijadikan alat oleh kekuatan lain di luar KPK," tegas Petrus.

-
photo/ANTARA/Riza Harahap

Petrus menyadari Presiden Jokowi pernah mengeluarkan Perppu tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) pada 2017. Namun, Petrus memandang saat itu Jokowi dalam keadaan genting yang memaksa karena ada ancaman terhadap eksistensi Pancasila oleh ormas radikal.

"UU Ormas yang ada membuat posisi negara sangat lemah ketika berhadapan dengan ormas radikal. Negara tidak bisa serta-merta mencabut status badan hukum ormas radikal. Karena itu, UU Ormas harus direvisi melalui Perppu karena melalui proses legislasi sangat lama dan belum tentu berhasil," jelas dia.

Dia menambahkan UU KPK yang sudah disetujui DPR dan Pemerintah sudah berjalan cukup lama. Bahkan, masyarakat pun telah diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Di sisi lain, usia UU KPK sudah 17 tahun berjalan sehingga wajar saat ini perlu dilakukan revisi dalam rangka memperkuat kelembagaan dan personalia yang memimpin KPK.

-
photo/ANTARA/Wahyu Putro A

Misalnya saja, saat ini dalam UU KPK disebutkan bahwa KPK perlu diawasi oleh sebuah Badan Pengawas. Hal itu bertujuan agar KPK tidak sewenang-wenang dalam menjalankan fungsinya. Selain itu, adanya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) juga memenuhi prinsip akan hak asasi manusia.

"Jelaslah sudah bahwa Perppu tidak cukup beralasan untuk menolak revisi UU KPK. Karenanya biarkan berlaku terlebih dahulu baru kemudian direvisi melalui judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi)," demikian menurut Petrus Salestinus.

Artikel Menarik Lainnya:

Editor: Administrator

Rekomendasi

Terkini

X